Selasa, 29 Oktober 2013

PERLAYA



Langit sorga yang selalu teduh oleh awan berwarna hijau muda, yang berfotosintesa dengan mentari warna jingga. Menyerap amarah dan kebencian untuk kemudian diolah menjadi hembusan udara kasih sayang, yang saban hari bertiup lembut mengusap wajah penghuninya. Namun setelah tujuh purnama, semua itu berubah. Lilith kembali ke sorga dengan lelah yang amat sangat. Jantung yang berfungsi sedikit kurang sempurna, paru-paru yang dikompresi, empedu yang tak mampu menyaring racun dan hati yang mengeras membatu. Untuk kemudian menyaksikan kedua induknya yang sama sekali tak bertegur sapa. Dewi Leto kehilangan sentuhan lembutnya, peka yang dulu selalu dimunculkan kini hanya segaris kelelahan yang tiap hari menyengat nuraninya. Dewa Theos yang lebih banyak termenung di depan telaga baptis dan tak mampu berbuat sesuatu ketika himpitan ekonomi mendera dengan liar. Batalion derita dengan persenjataan lengkap menyelinap tanpa suara. Mengambil posisi mengepung dengan senjata terkokang. Menikmati siksaan batin baru di dalam sorga, menatap DewaTheos yang tersungkur dan terluka ditikam kenyataan hidup yang berat. Tersingkir dari persaingan dan termenung oleh umur tua serta penyakit yang mengendap. Kenyataan itulah yang harus dihadapi Lilith, yang sudah merasa terbuang dan terlantarkan oleh penghuni alam sorga disana.
Dan setelah itu Lilith lebih suka terbang mengasingkan diri bersama teman-teman sependeritaan. Karena dia sendiri bingung dengan apa yang harus dilakukan. Terbang dengan sayap biru mungilnya, menjelajah luasnya sudut dunia, mencari tempat yang dirasa mampu mengobati kekecewaannya. Rasa kecewa dan ketakutan akibat tidak diperhatikan. Tidak pernah didengar semua keluhannya, tidak pernah dipuja dan dipuji sebagaimana layaknya putri seorang dewa perkasa dan dewi rupawan.
“Lilith, kemarin siang ketika aku terbang, kutemukan tempat yang menyenangkan. Rada-rada berbahaya sih, tapi tempatnya menyenangkan sekali. Ada banyak makhluk aneh yang nampaknya menyenangkan jika kita dapat mengenalinya. Pokoknya kita harus kesana lagi. Kamu mau gak temani aku? Nanti aku kenalkan pada semua penghuni tempat itu, kamu bakalan betah tinggal disana. Ada banyak hal baru yang bisa kamu jadikan obat bagi semua duka yang sedang kamu rasakan sekarang.” Tinkerbell, sahabat Lilith memecah lamunan.
Tingkerbell, peri centil dengan sayap warna polkadot. Bukan bintik hitam putih, tapi merah jambu dan ungu. Tubuh mungil dengan kekuatan bicara seperti lokomotif uap. Yang selalu meraung dengan suara derit logam friksi dan menyiksa telinga ketika bercerita. Padahal cerita yang diutarakan tidak sehebat kenyataannya. Itulah yang membuat Lilith tidak tertarik pada ceritanya kali ini. Seperti cerita yang sudah-sudah, cerita tentang pangeran tampan di tengah hutan, tentang naga berkepala dua, juga penyihir hitam yang jahat. Yang punya hobi memberikan apel beracun bagi setiap pengelana yang kelaparan dan tersesat di tengah hutan. Seperti juga Hawa yang menawarkan buah terlarang pada Adam. Hingga mereka terusir dari sorga dan mengembara di dunia.”Ah, paling-paling juga kamu bakalan bawa aku ketempat yang seperti dulu lagi. Sebuah tempat yang dipenuhi oleh keramaian. Yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain, membuat perasaan makin terasing dan aneh. Sementara kau menikmati suasana dengan sepenuh hati, sedangkan aku terjebak sendirian di tengah keramaian. Merasa sepi di tengah keramaian.” Kata Lilith, sengaja dibuat intonasi yang berkesan tidak merespon.
“sumpah Lilith, tempat ini beda banget dengan yang sudah kita datangi sebelumnya. Memang ada keramaian, memang banyak orang-orang, tapi tidak seperti yang pernah kau rasakan sebelumnya.” Justru makin garang meyakinkan, memegang erat dua lengan Lilith.
Lama _kelamaan Lilith merasa penasaran juga. Dan akhirnya Tinkrbell bertanya pada Lilith. “Kamu mau tau dimana tempat yang akan kita singgahi?”
 “Iya,” jawab Lilith jual mahal.
Neraka! Tapi bukan nerakanya loh.
 “Lilith terbingung diam, menimbang galau.
“Baiklah, ajak aku kesana. Tapi awas jika yang kau ceritakan padaku tidak sesuai seperti apa yang kau katakana tadi. Cukup kau saja yang bermasturbasi secara pribadi tanpa harus kau bawa serta, aku harus percaya tentang tempat yang kau janjikan padaku. Cukup sekali ini saja aku percaya pada semua dongengmu.”Lilith bicara dengan serius menatap mata tinkerbell yang penuh pengharapan.”
Akhirnya mereka berdua terbang bersama menembus angkasa kelam yang luasnya tak terkira oleh waktu dan batasan,  Mencari halaman neraka. Mereka melewati rangkaian awan yang keras terpaku karena angin enggan bertiup. Meniti bintang-bintang yang berserak tak beraturan, menciptakan jejak semburat cahaya keperakan di langit malam. Terbang meliuk lalu menukik tajam, menuju titik api dikejauhan. Titik api kecil yang kadang sinarnya melemah tertiup angin sarat debu dan partikel radiasi. Suasana temaram hutan heterogen. Hutan rapat yang terhimpit oleh dominasi kaki beton yang angkuh. Mengepung rapat pengap semua sumber kehidupan. Sebuah halaman yang hangat oleh uap api neraka, yang kadang terlihat jelas semburan uapnya jika kebetulan cuaca sedang cerah. Dengan suara-suara yang menyeramkan, derita siksaan dan ratapan pngampunan silih berganti teriakan rancu.
“Siapakah yang mau hidup di tempat seperti ini?” Tempat yang menyeramkan yang dipenuhi arwah penasaran. Derita yang memendar setiap saat. Ketakutan yang merayap cepat dengan kuku yang tajam. Mengorek ruang kesadaran dengan paksa, tetesan darah dimana-mana. Potongan tubuh berserak dimana-mana, tangan yang terpotong, kepala yang terbelah, biji mata yang terinjak. Aura yang tertangkap hanyalah aroma derita tanpa kesudahan.
“Halo perkenalkan semuanya, ini temanku Lilith. Putri dari Dewa Theos dan Dewi Leto. Dia datang dari sorga ke-tujuh, dia datang bersamaku untuk berkenalan dengan kalian semua!” Bersemangat sekali, seolah sedang mengantarkan paket makanan junkfood bagi makhluk yang sedang dilanda bencana rawan pangan dan busung lapar.
Tak ada sahutan apa-apa. Hanya berbagai bentuk kepala yang tidak jelas Nampak celingukan menatap satu sama lain, kepala yang menatap penuh keraguan.
“Halo semuanya! Nama saya Lilith. Saya teman dari tinkerbell, saya diajak datang kemari, katanya tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.” Bicara dengan harapan dapat membuka gerbang kebuntuan komunikasi.
“Untuk apa kalian repot-repot datang kemari? Tempat kalian yang tepat bukanlah disini. Kalian adalah makhluk-makhluk sempurna yang tidak pantas menginjakkan kaki kemari. Ke tempat yang nyaris hina dan penuh derita. Lebih baik kalian kembali dan tak perlu lagi mengingat tempat ini.” Sebuah sosok perlahan berdiri sambil berbicara. Suara yang tebal dengan intonasi kesinisan.
“Siapa dia? Sepertinya dia tidak terlalu suka dengan kedatangan kita.” Bisik Lilith pada Tinkerbell. Sementara mata Lilith yang berkaca minus mencoba meraba sosok yang masih belum jelas bentuk dan rupanya, karena cahaya bulan tertutup awan.
“Dia adalah pria yang menjaga tempat ini. Salah seorang penjaga neraka.” Kata tinkerbell.
“Eh_ maafkan kami wahai penjaga pintu neraka. Kami sedang tersesat dan mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini”. Tinkerbell tergagap mencari alasan yang tidak penting.
“Bohong! Temanku ini bohong! Sebenarnya, kami sengaja datang ingin berkenalan dengan kalian semua. Para penjaga pintu nneraka.” Lilith teriak.
Lalu angin bertiup menyibak awan yang menutup purnama. Terang tiba perlahan, kutatap sosok yang mulai jelas terlihat. Postur tinggi ceking dengan otot yang mengering. Ekspresi tak bersahabat dan tatapan sinis.
“ Kau punya hati yang tulus. Dan kau punya keberanian yang sangat besar. Jika memang maksudnya seperti itu kami persilahkan kalian berdua untuk mengenal kami. Tapi perlu kalian sadari bahwa kami tak mempunyai apa-apa untuk dibangkangan. Kami hanya sekumpulan makhluk penjaga neraka, yang mengabdi pada setan. Yang setiap hari harus berhadapan dengan derita dan kesakitan yang diakibatkan oleh murka tuhan.” Tatapan matanya tidak berubah, nada bicaranya juga masih sinis.
“Terima kasih, sejujurnya aku tertarik datang kesini setelah mendengar cerita dari temanku yang satu ini. Bahwa dibalik derita dan semua kesakitan yang kalian rasakan, kalian malah menemuakan sebuah keterkaitan yang kuat diantara kalian. Menjalin sengsara menjadi tambang yang kokoh yang akan dipakai untuk menarik kebahagiaan yang sekarang masih terbenam dibawah jurang yang dalam. Dan saya pribadi mempunyai kesamaan perasaan pada hal itu.”
 Jujur saja Lilith merasa terintimidasi dengan cara memandangnya, cepat dia ulurkan tangan kanannya.
 “Lilith.”
“Kobal.” Jemarinya menyambut hangat.
Lalu malam pekat berubah menjadi pagi yang cerah. Hari berganti minggu, purnama yang muncul beberapa kali memperkosa langit malam yang syahdu. Dan Lilith masih disana, di halaman neraka. Saling bercerita apa saja, tentang derita yang terpaksa ditertawakan. Sorga yang didamba adalah sorga yang perlahan menjauh tersimpuh malu.
“Seperti apa kau memandang hidup ini?” Pada suatu sore yang mendung dengan sisa angin kemarau yang mengepakkan sayap biru mungil. Ketika pada suatu kesempatan untuk bicara pada kobal, di halaman neraka yang masih sepi oleh penghuni.
“aku hanyalah penonton pasif dari hidup yang nihil ini. Sama sekali tidak tahu dengan apa yang terjadi pada hidup ini. Yang terjebak dalam kerumunan dan antrian tiket sebuah gedung pertunjukan teater kolosal. Aku terseret dan terbawa oleh mereka menuju gedung pertunjukan. Setelah dengan kasar dan penuh ancaman para calo tiket itu memaksa aku membeli tiket diatas harga rata-rata. Akhirnya aku terjebak dalam dimensi ini, gedung teater megah dan eksklusif dengan sistem pendingin ruangan dan tata suara mutakhir. Terjebak duduk diam dalam kursi merah empuk berlapis beludru.”
“Sebenarnya apa kau sendiri memang menginginkan masuk dalam gedung teater itu? Menyaksikan lakon apa yang akan dimainkan?” Lilith memotong ceritanya.
Kobal lanjut menjawab, “Tidak. Aku sama sekali tidak berminat menonton cerita teater itu. Aku sudah pernah baca sinopsisnya dari majalah yang kupinjam dari temanku. Tampaknya akan sangat membosankan. Aku bahkan sama sekali tidak pernah mengambil jatah tiket gratis yang telah disediakan.”
“Lalu lakon seperti apa yang akhirnya kau tonton?”
“Sebuah peperangan besar. Pertempuran sengit antara dua kerajaan, kerajaan tuhan melawan kerajaan setan. Keduanya saling menyerang dengan senjata masing-masing. Dengan pasukan yang sama-sama berani mati membela kehormatan rajanya masing-masinng. Pertempuran paling mengerikan yang penah aku lihat sepanjang hayat nafasku. Keduanya merasa paling benar sehingga bagi mereka nyawa hanyalah selembar kertas yang menempel di leher dan dapat disobek oleh pedang dengan sangat mudah.
Lilith semakin tertarik, dia terus bertanya. “ Lalu kau hanya diam saja selama pertunjukan berlangsung? Menikmati sekantong popcorn dan segelas soda besar tentunya?
“Yah, saya hanya bisa bersorak dan mengomentari dari kejauhan. Betepuk tangan meneriakkan kata pujian jika para lakon itu melakuakan gerakan-gerakan akrobatik. Atau malah melempar butiran popcorn jika si lakon lupa dialognya. Hah_
“Kau nonton hingga selesai? Seperti apa sih endingnya? Siapa yang menang?” Lilith nyerocos penasaran.
“Tidak. Endingnya aku belum tahu. Karena lakonnya masih dimainkan hingga saat ini. Aku dan kamu masih menyaksikannya. Semua masih bergerak, semua masih berubah, semua masih dirubah, namun sebenarnya tidak ada yang berubah. Dunia semacam ini, yang dilemparkan pada ilusi perubahan dan perkembangan masih menyelesaikan semua kemungkinan revolusi. Kamu bisa lihat produktifitasnya yang berkembang tidak mengarah pada perubahan struktural dalam bentuk apapun. Semuanya membosankan hingga saat nafas yang baru saja kita hembuskan pada udara terbuka ini.”
Aku adalah pantai yang menanti ombak diam menggeletak pasrah. Menanti riak menjadi ombak yang datang menjamah mengetengahkan hikayat baru dari ujung samudera lepas. Menyambutnya dengan bulir pasir lembut yang hangat dan empuk. Kusuguhkan padamu semburat sunset yang syahdu. Dalam peraduan cakrawala menjelang gelap. Aku menyambutmu bersama dekapan mantel berhiaskan gemerlap gugusan. Gemintang agar kau kau tidak kedinginan dan merasa sepi ketika menyambut pagi di akhir malam. Memelukmu khusyu’ dalam hampa. Diantara sengakarut tajam karang, kita berbagi celah sempit untuk sekedar menyimpan sedikit harapan tentang hari depan. Bersama kita nikmati langit orgasme pada mimpi utopia tentang kenyataan.  
Rasa sayang itu muncul secara misterius dari tumpukan kesedihan dan duka yang mendalam. Tak sengaja Lilith mengaisnya ketika mengubur semua dalam tanah pekuburan yang dipenuhi sesak oleh wangi kamboja di musim meranggas. Kobal muncul tiba-tiba memeluk dari belakang dengan bentuk yang berbeda. Seperti teman lama yang membawakan gambar-gambar penuh warna-warni. Keceriaan yag sedari dulu pergi jauh bersama angin, kini kembali muncul. Muncul dalam rupa dan bentuk yang lebih mengharukan, pada wujud yang menggetarkan semua kesadaranku. Pada tubuh yang tercipta dari debu dan tanah.
“Akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Setelah sungguh-sungguh kau nyatakan rasa ketertarikanmu pada ku. Kau si penjaga neraka yang sinis, dan aku tahu bahwa kamu sangat bersungguh-sungguh dengan semua ucapanmu. Walau pun tanpa kutipan puisi, dan narasi panjang para penyair sufi, tanpa rangkaian bunga, coklat berbentuk hati, kartu ucapan berwarna merah jambu, atau makan malam romantis dengan nyala lilin dan anggur berkelas di atas kabut yang kaya oleh semilir kabut tipis. Kau hanya hantarkan padaku selarik cahaya siang yang mendadak lembut menyapu ruangan, dan aku mau menerima apa adanya. Tentu saja, setelah kau ternyata mampu bertahan dengan semua duka yang berjajar kolosal di depan kita. Kau yang selalu rela memberikan tangan terjulur padaku, menggenggam pundak-ku, lalu kata-kata sederahana itu terucap, dengan tatapan misteriusmu. Yang sanggup membuatku tertunduk tersipu dengan tatapan nanar.” Rangkaian gejolak Lilith.
“Maukah kamu menjadi kekasihku? Menjadi bagian dari setengah hidupku?”
“Apakah aku layak untukmu?” Kobal bertanya dengan tatapan penuh pengharapan.
“Sanggupkah kamu menghadapi aku?” pertanyaan kobal dijawab dengan pertanyaan Lilith. “Datang ketempatku, mengenalkan diri sebagai penjaga neraka pada orang tuaku yang tak lagi bertegur sapa. Sanggupkah kau menerima dan menemaniku menghadapi hari-hari penuh keidakjelasan?”
Kobal menjawab semua pertanyaan Lilith, “seperti apapun kondisimu saat ini, seburuk apapun tuhan menciptakan adzab, sehina apapun kita dimata-NYA, aku tetap akan menjadi nafas yang kau hisap hingga kita tersenggal bersama di ujung umur kita. Menjadi darah hitam yang mengotori seluruh pembuluh arterimu.”
“Dan jika kau layak untukku, jika kau mencari rusukmu yang hilang direnggut tuhan. Maka milikilah aku sepenuhnya, aku tak mau kehilanganmu.”
Sebelumnya muka mereka belum pernah berjumpa seintim ini. Masing-masing mata melekat menatap. Nafas mereka saling memantul melalui wajah masing-masing.
“Ketika ku biarkan tanganku kau raih dan diperkenalkan pada pokokmu yang tegang menantang. Berwarna lembayung dengan urat-urat membelit kokoh, dengan yakin kutantang pantangan. Kuelus takjub penuh deburan rasa tak menentu. Kubiarkan tanganmu membawaku menuju dunia kepolosan. Menjelajahi setiap petak bagian sprei putih polos dengan tubuh yang sama-sama telanjang. Kubiarkan jemarimu menari menjelajahi payudaraku yang ranum menggantung. Kubiarkan kau yang angkuh dengan sengaja menantang kutukan. Kubiarkan mulutmu yang lapar melahap buah dada matang yang ranum menggantung. Mulutmu yang kerontang menghisap pentil jingga yang membusung kaku. Aku yang tersenggal geli dan nikmat. Nikmat dan berasa menggetarkan seisi ruh dan kesadaran. Kita yang dengan sengaja telah menertawakan azab. Bersama para malaikat birahi menata gerak tarian makrifat, gerakan kudus mengolah raga membentuk jiwa-jiwa yang akan dilepas bebas. Menjadikan kita sebagai angin dan lautan yang saling berjumpa dalam balutan rindu. Memperanakan gelombang yang berdebur membuncah menjadi buih berkejaran di ujung pantai. Setiap gerak nafas kita menghirup dan menghembuskan aromanya. Membiarkan serpihan jiwa kita bebas merancak mengikuti setiap naluri untuk saling member nikmat. Bersama naluri yang menuntut kita menuju pelepasan jiwa sejati menuju sifat penyatuan.” Lilith sambil mengerang penuh kenikmatan.
Kepala yang bersandar di perut mulai berguling turun. Dengan bibir yang mengecup lembut, dan lidah yang sesekali terjulur menjilat sisi perut. Menjalar ke bawah hingga batang pokok dikulumnya, digigit lembut seperti memperlakukan segumpal es krim cone. Bahasa tubuh dan perasaan yang kembali saling bicara tanpa Viagra dan tanpa iklan jamu kuat murahan yang hanya mmposisikan perempuan sebagai hewan buruan yang harus ditaklukkan oleh penis yang tergantung lusuh di selangkangan.
“Beri aku….” Dengan cepat bibir kobal membekap bibir Lilith dengan satu ciuman rakus. Menggigit lidah bertukar liur. Mengulum telinga kirinya, lidahnya menjelajahi setiap sulur-sulur telingaku. Menggigit pentil susu kanan dan kiri Lilith dengan sangat lapar dan haus.
Dengan kesadaran penuh mereka selalu membangkang dan memberikan selangkangan mereka pada setiap khotbah. Orang kerap menyebutnya sebagai perbuatan asusila, tindakan amoral dan hanya pantas dilakukan oleh binatang. Dan diam-diam tanpa sadar mereka mengadopsi gaya binatang ketika mereka sedang bercinta. Gaya anjing, kuda, ataupun ikan mujair.
Kobal mengerang, sambil membumbungkan fantasinya.
“kau duduk di atas tubuhku, menghimpit rapat, menjepit erat. Aku mengerang tertahan ketika kau tuntun batang pokok ku memasuki gerbang nikmat yang becek oleh rembesan embun dari buah yang matang merekah merah oleh birahi. Meneggelamkan semua pusat saraf dalam hisapan-hisapan saluran uterus yang elastic dan bersulur lembut. Pinggulmu naik turun dengan irama gelora konstan. Basah seperti rumput di pagi hari oleh embun murni. Meneggelamkan mentari kesadaran ke dalam awing-awang penuh oleh bintang berkelap kelip. Sementara kau terpejam syahdu dengan ekspresi nikmat yang berkecamuk. Dengus nafasmu mengatakan seolah aku ini adalah hidangan utama yang harus kau habiskan tuntas. Gerakan pinggulmu naik turun demikian juga dengan payudaramu yang mengkilap oleh keringat. Pentilmu yang membusung keras, naik melayang lalu tumpah tanpa terserak. Ku usap lembut dua pipimu yang merona. Kutatap dalam bola mata Kristal itu.dan di wajahmu ku lihat ada seribu untaian matahari bangkit. Seperti nikmat yang kurasa. Nikmat yang disimbolkan oleh bahasa tubuh dan kata-kata tanpa makna. Bunyi tubuh yang bergesek dengan sprei dan kasur, suara kelamin yang berjumpa dan bercakap basah penuh rindu. Suara nafas yang tertarik dan terbuang tak beraturan, symbol nada kenikmatan. Lalu pusat pinggulmu bergerak makin cepat. Kau benamkan sepenuhnya dan berputar perlahan namun mencengkram erat. Searah jarum jam maupun kadang berlawanan. Aku ternganga dengan dada tersengal. Nafas tercekat nikmat, lalu badanmu berderak lumpuh telungkup rubuh dengan tiba-tiba. Begitu juga aku yang kehabisan nafas dengan kondisi yang terkuras. Dan seketika itu suasana menjadi hening.”
Lambat laun, adegan persenggamaan mendebarkan tanpa lateks pengaman itu berulang beberapa kali. hingga akhirnya perut Lilith berubah bentuk menjadi besar dan dinamakan kehamilan.
“Cawanku berisi kenistaan. Siklusku terlambat satu minggu. Aku hamil.” Lilith berkata sambil mata berkaca.
“Kita catatkan saja kelamin kita. Segera menghadap altar Dewa azazel dan mengharap dia akan memberikan restu pada kita. Pada dua orang pendosa yang sudah menghianati kepercayaan tuhan.” Kobal menjawab, dengan mengelus rambut Lilith.
“ini aib.. ini aib, ini dusta, kenapa kau ajari aku tentang pembangkangan ini?  Segampang itu jawabanmu? Minta restu lalu memasang barcode pada kelamin kita? Akan kau bawa kemana aku ini? Aku yang akan terusir dari sorga bersama seorang abdi setan sepertimu. Akan kau tamping dimana semua mimpi dan harapanku. Harapan tentang rumah mungil di atas bukit teduh dengan padang rumput luas. Apa yang bisa ku harapkan darimu, abdi setan tanpa masa depan?”
Dengan mata yang berlinang dan suara tertahan-tahan oleh cegukan. Lilith melanjutkan, “Ada banyak kepentingan yang memang harus kita utamakan. Karena memang itu jadi taruhan hidup kita di dunia ini. Menyangkut hidup kita  dan rencana-rencana kita di masa depan. Tentang harga diri, tentang nama baik dan kenyataan baik yang harus kita pertaruhkan di hadapan koloni, yang akan menagkap kita, memukuli kita hingga sekarat lalu mengarak kita keliling kampung dalam keadaan telanjang bulat. Koloni yang yang akan menghakimi dan mengeksekusi kita di panggung penggantungan, atas nama moralitas.”
Lalu kobal memeluk Lilith, membiarkan dadanya dibasahi air mat. Membiarkan lengan atasnya diremas keras. Air mata yang mengalir menjadi jeram-jeram putus asa. Riak-riaknya berlloncatan berwarna keperakan.
Bersama gelap,Puja hampa
Pada kosong, berdiri tegap tanpa rasa
Harap perlaya!
Setelah itu Lilith tertidur, hingga bermimpi aneh. Melihat Kobal mengasah pedang panjang yang tajam. Memenggil Lilith dan menyuruhnya berbaring di atas tanah tandus. Dan tanpa banyak kata, Kobal menempelkan pisau di lehernya. Menggerakkan ke depan dan ke- belakang, hingga suara otot leher dan urat yang terpotong. Suara nafas dari leher yang tergorok dan semburan darah dari arteri utama. Lilith berkelojotan sekarat, bergerak tak beraturan sebagai reaksi reflex motorik ketika nyawa nyawa harus pisah dengan raga. Dan setelah itu Lilith tak pernah lagi membuka matanya pada kehidupan. Lilith meninggalkan dunia tanpa disadarinya.
Kucampak sisa pada nyawa
Kuraih gelap
Tanpa ada kata suci
Pengantar mati
Adi gembel 666