Langit sorga yang selalu teduh oleh awan berwarna hijau muda, yang
berfotosintesa dengan mentari warna jingga. Menyerap amarah dan kebencian untuk
kemudian diolah menjadi hembusan udara kasih sayang, yang saban hari bertiup lembut
mengusap wajah penghuninya. Namun setelah tujuh purnama, semua itu berubah.
Lilith kembali ke sorga dengan lelah yang amat sangat. Jantung yang berfungsi
sedikit kurang sempurna, paru-paru yang dikompresi, empedu yang tak mampu
menyaring racun dan hati yang mengeras membatu. Untuk kemudian menyaksikan
kedua induknya yang sama sekali tak bertegur sapa. Dewi Leto kehilangan
sentuhan lembutnya, peka yang dulu selalu dimunculkan kini hanya segaris
kelelahan yang tiap hari menyengat nuraninya. Dewa Theos yang lebih banyak
termenung di depan telaga baptis dan tak mampu berbuat sesuatu ketika himpitan
ekonomi mendera dengan liar. Batalion derita dengan persenjataan lengkap
menyelinap tanpa suara. Mengambil posisi mengepung dengan senjata terkokang.
Menikmati siksaan batin baru di dalam sorga, menatap DewaTheos yang tersungkur
dan terluka ditikam kenyataan hidup yang berat. Tersingkir dari persaingan dan
termenung oleh umur tua serta penyakit yang mengendap. Kenyataan itulah yang
harus dihadapi Lilith, yang sudah merasa terbuang dan terlantarkan oleh penghuni
alam sorga disana.
Dan setelah itu Lilith lebih suka terbang mengasingkan diri bersama
teman-teman sependeritaan. Karena dia sendiri bingung dengan apa yang harus
dilakukan. Terbang dengan sayap biru mungilnya, menjelajah luasnya sudut dunia,
mencari tempat yang dirasa mampu mengobati kekecewaannya. Rasa kecewa dan
ketakutan akibat tidak diperhatikan. Tidak pernah didengar semua keluhannya,
tidak pernah dipuja dan dipuji sebagaimana layaknya putri seorang dewa perkasa
dan dewi rupawan.
“Lilith, kemarin siang ketika aku terbang, kutemukan tempat yang
menyenangkan. Rada-rada berbahaya sih, tapi tempatnya menyenangkan sekali. Ada
banyak makhluk aneh yang nampaknya menyenangkan jika kita dapat mengenalinya.
Pokoknya kita harus kesana lagi. Kamu mau gak temani aku? Nanti aku kenalkan
pada semua penghuni tempat itu, kamu bakalan betah tinggal disana. Ada banyak
hal baru yang bisa kamu jadikan obat bagi semua duka yang sedang kamu rasakan
sekarang.” Tinkerbell, sahabat Lilith memecah lamunan.
Tingkerbell, peri centil dengan sayap warna polkadot. Bukan bintik
hitam putih, tapi merah jambu dan ungu. Tubuh mungil dengan kekuatan bicara
seperti lokomotif uap. Yang selalu meraung dengan suara derit logam friksi dan
menyiksa telinga ketika bercerita. Padahal cerita yang diutarakan tidak sehebat
kenyataannya. Itulah yang membuat Lilith tidak tertarik pada ceritanya kali
ini. Seperti cerita yang sudah-sudah, cerita tentang pangeran tampan di tengah
hutan, tentang naga berkepala dua, juga penyihir hitam yang jahat. Yang punya
hobi memberikan apel beracun bagi setiap pengelana yang kelaparan dan tersesat
di tengah hutan. Seperti juga Hawa yang menawarkan buah terlarang pada Adam.
Hingga mereka terusir dari sorga dan mengembara di dunia.”Ah, paling-paling
juga kamu bakalan bawa aku ketempat yang seperti dulu lagi. Sebuah tempat yang
dipenuhi oleh keramaian. Yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mengenal
satu sama lain, membuat perasaan makin terasing dan aneh. Sementara kau
menikmati suasana dengan sepenuh hati, sedangkan aku terjebak sendirian di
tengah keramaian. Merasa sepi di tengah keramaian.” Kata Lilith, sengaja dibuat
intonasi yang berkesan tidak merespon.
“sumpah Lilith, tempat ini beda banget dengan yang sudah kita
datangi sebelumnya. Memang ada keramaian, memang banyak orang-orang, tapi tidak
seperti yang pernah kau rasakan sebelumnya.” Justru makin garang meyakinkan,
memegang erat dua lengan Lilith.
Lama _kelamaan Lilith merasa penasaran juga. Dan akhirnya Tinkrbell
bertanya pada Lilith. “Kamu mau tau dimana tempat yang akan kita singgahi?”
“Iya,” jawab Lilith jual
mahal.
Neraka! Tapi bukan nerakanya loh.
“Lilith terbingung diam,
menimbang galau.
“Baiklah, ajak aku kesana. Tapi awas jika yang kau ceritakan padaku
tidak sesuai seperti apa yang kau katakana tadi. Cukup kau saja yang bermasturbasi
secara pribadi tanpa harus kau bawa serta, aku harus percaya tentang tempat
yang kau janjikan padaku. Cukup sekali ini saja aku percaya pada semua
dongengmu.”Lilith bicara dengan serius menatap mata tinkerbell yang penuh
pengharapan.”
Akhirnya mereka berdua terbang bersama menembus angkasa kelam yang
luasnya tak terkira oleh waktu dan batasan,
Mencari halaman neraka. Mereka melewati rangkaian awan yang keras terpaku
karena angin enggan bertiup. Meniti bintang-bintang yang berserak tak
beraturan, menciptakan jejak semburat cahaya keperakan di langit malam. Terbang
meliuk lalu menukik tajam, menuju titik api dikejauhan. Titik api kecil yang
kadang sinarnya melemah tertiup angin sarat debu dan partikel radiasi. Suasana
temaram hutan heterogen. Hutan rapat yang terhimpit oleh dominasi kaki beton
yang angkuh. Mengepung rapat pengap semua sumber kehidupan. Sebuah halaman yang
hangat oleh uap api neraka, yang kadang terlihat jelas semburan uapnya jika
kebetulan cuaca sedang cerah. Dengan suara-suara yang menyeramkan, derita
siksaan dan ratapan pngampunan silih berganti teriakan rancu.
“Siapakah yang mau hidup di tempat seperti ini?” Tempat yang
menyeramkan yang dipenuhi arwah penasaran. Derita yang memendar setiap saat.
Ketakutan yang merayap cepat dengan kuku yang tajam. Mengorek ruang kesadaran
dengan paksa, tetesan darah dimana-mana. Potongan tubuh berserak dimana-mana, tangan
yang terpotong, kepala yang terbelah, biji mata yang terinjak. Aura yang
tertangkap hanyalah aroma derita tanpa kesudahan.
“Halo perkenalkan semuanya, ini temanku Lilith. Putri dari Dewa
Theos dan Dewi Leto. Dia datang dari sorga ke-tujuh, dia datang bersamaku untuk
berkenalan dengan kalian semua!” Bersemangat sekali, seolah sedang mengantarkan
paket makanan junkfood bagi makhluk yang sedang dilanda bencana rawan pangan
dan busung lapar.
Tak ada sahutan apa-apa. Hanya berbagai bentuk kepala yang tidak
jelas Nampak celingukan menatap satu sama lain, kepala yang menatap penuh
keraguan.
“Halo semuanya! Nama saya Lilith. Saya teman dari tinkerbell, saya
diajak datang kemari, katanya tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.”
Bicara dengan harapan dapat membuka gerbang kebuntuan komunikasi.
“Untuk apa kalian repot-repot datang kemari? Tempat kalian yang
tepat bukanlah disini. Kalian adalah makhluk-makhluk sempurna yang tidak pantas
menginjakkan kaki kemari. Ke tempat yang nyaris hina dan penuh derita. Lebih
baik kalian kembali dan tak perlu lagi mengingat tempat ini.” Sebuah sosok
perlahan berdiri sambil berbicara. Suara yang tebal dengan intonasi kesinisan.
“Siapa dia? Sepertinya dia tidak terlalu suka dengan kedatangan
kita.” Bisik Lilith pada Tinkerbell. Sementara mata Lilith yang berkaca minus
mencoba meraba sosok yang masih belum jelas bentuk dan rupanya, karena cahaya
bulan tertutup awan.
“Dia adalah pria yang menjaga tempat ini. Salah seorang penjaga
neraka.” Kata tinkerbell.
“Eh_ maafkan kami wahai penjaga pintu neraka. Kami sedang tersesat
dan mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini”. Tinkerbell tergagap mencari
alasan yang tidak penting.
“Bohong! Temanku ini bohong! Sebenarnya, kami sengaja datang ingin
berkenalan dengan kalian semua. Para penjaga pintu nneraka.” Lilith teriak.
Lalu angin bertiup menyibak awan yang menutup purnama. Terang tiba
perlahan, kutatap sosok yang mulai jelas terlihat. Postur tinggi ceking dengan
otot yang mengering. Ekspresi tak bersahabat dan tatapan sinis.
“ Kau punya hati yang tulus. Dan kau punya keberanian yang sangat
besar. Jika memang maksudnya seperti itu kami persilahkan kalian berdua untuk
mengenal kami. Tapi perlu kalian sadari bahwa kami tak mempunyai apa-apa untuk
dibangkangan. Kami hanya sekumpulan makhluk penjaga neraka, yang mengabdi pada
setan. Yang setiap hari harus berhadapan dengan derita dan kesakitan yang
diakibatkan oleh murka tuhan.” Tatapan matanya tidak berubah, nada bicaranya
juga masih sinis.
“Terima kasih, sejujurnya aku tertarik datang kesini setelah
mendengar cerita dari temanku yang satu ini. Bahwa dibalik derita dan semua
kesakitan yang kalian rasakan, kalian malah menemuakan sebuah keterkaitan yang
kuat diantara kalian. Menjalin sengsara menjadi tambang yang kokoh yang akan
dipakai untuk menarik kebahagiaan yang sekarang masih terbenam dibawah jurang
yang dalam. Dan saya pribadi mempunyai kesamaan perasaan pada hal itu.”
Jujur saja Lilith merasa
terintimidasi dengan cara memandangnya, cepat dia ulurkan tangan kanannya.
“Lilith.”
“Kobal.” Jemarinya menyambut hangat.
Lalu malam pekat berubah menjadi pagi yang cerah. Hari berganti
minggu, purnama yang muncul beberapa kali memperkosa langit malam yang syahdu.
Dan Lilith masih disana, di halaman neraka. Saling bercerita apa saja, tentang
derita yang terpaksa ditertawakan. Sorga yang didamba adalah sorga yang
perlahan menjauh tersimpuh malu.
“Seperti apa kau memandang hidup ini?” Pada suatu sore yang mendung
dengan sisa angin kemarau yang mengepakkan sayap biru mungil. Ketika pada suatu
kesempatan untuk bicara pada kobal, di halaman neraka yang masih sepi oleh
penghuni.
“aku hanyalah penonton pasif dari hidup yang nihil ini. Sama sekali
tidak tahu dengan apa yang terjadi pada hidup ini. Yang terjebak dalam
kerumunan dan antrian tiket sebuah gedung pertunjukan teater kolosal. Aku
terseret dan terbawa oleh mereka menuju gedung pertunjukan. Setelah dengan
kasar dan penuh ancaman para calo tiket itu memaksa aku membeli tiket diatas
harga rata-rata. Akhirnya aku terjebak dalam dimensi ini, gedung teater megah
dan eksklusif dengan sistem pendingin ruangan dan tata suara mutakhir. Terjebak
duduk diam dalam kursi merah empuk berlapis beludru.”
“Sebenarnya apa kau sendiri memang menginginkan masuk dalam gedung
teater itu? Menyaksikan lakon apa yang akan dimainkan?” Lilith memotong
ceritanya.
Kobal lanjut menjawab, “Tidak. Aku sama sekali tidak berminat
menonton cerita teater itu. Aku sudah pernah baca sinopsisnya dari majalah yang
kupinjam dari temanku. Tampaknya akan sangat membosankan. Aku bahkan sama
sekali tidak pernah mengambil jatah tiket gratis yang telah disediakan.”
“Lalu lakon seperti apa yang akhirnya kau tonton?”
“Sebuah peperangan besar. Pertempuran sengit antara dua kerajaan,
kerajaan tuhan melawan kerajaan setan. Keduanya saling menyerang dengan senjata
masing-masing. Dengan pasukan yang sama-sama berani mati membela kehormatan
rajanya masing-masinng. Pertempuran paling mengerikan yang penah aku lihat
sepanjang hayat nafasku. Keduanya merasa paling benar sehingga bagi mereka
nyawa hanyalah selembar kertas yang menempel di leher dan dapat disobek oleh
pedang dengan sangat mudah.
Lilith semakin tertarik, dia terus bertanya. “ Lalu kau hanya diam
saja selama pertunjukan berlangsung? Menikmati sekantong popcorn dan segelas
soda besar tentunya?
“Yah, saya hanya bisa bersorak dan mengomentari dari kejauhan.
Betepuk tangan meneriakkan kata pujian jika para lakon itu melakuakan
gerakan-gerakan akrobatik. Atau malah melempar butiran popcorn jika si lakon
lupa dialognya. Hah_
“Kau nonton hingga selesai? Seperti apa sih endingnya? Siapa yang
menang?” Lilith nyerocos penasaran.
“Tidak. Endingnya aku belum tahu. Karena lakonnya masih dimainkan
hingga saat ini. Aku dan kamu masih menyaksikannya. Semua masih bergerak, semua
masih berubah, semua masih dirubah, namun sebenarnya tidak ada yang berubah.
Dunia semacam ini, yang dilemparkan pada ilusi perubahan dan perkembangan masih
menyelesaikan semua kemungkinan revolusi. Kamu bisa lihat produktifitasnya yang
berkembang tidak mengarah pada perubahan struktural dalam bentuk apapun.
Semuanya membosankan hingga saat nafas yang baru saja kita hembuskan pada udara
terbuka ini.”
Aku adalah pantai yang menanti ombak diam menggeletak pasrah.
Menanti riak menjadi ombak yang datang menjamah mengetengahkan hikayat baru
dari ujung samudera lepas. Menyambutnya dengan bulir pasir lembut yang hangat
dan empuk. Kusuguhkan padamu semburat sunset yang syahdu. Dalam peraduan
cakrawala menjelang gelap. Aku menyambutmu bersama dekapan mantel berhiaskan
gemerlap gugusan. Gemintang agar kau kau tidak kedinginan dan merasa sepi
ketika menyambut pagi di akhir malam. Memelukmu khusyu’ dalam hampa. Diantara
sengakarut tajam karang, kita berbagi celah sempit untuk sekedar menyimpan
sedikit harapan tentang hari depan. Bersama kita nikmati langit orgasme pada
mimpi utopia tentang kenyataan.
Rasa sayang itu muncul secara misterius dari tumpukan kesedihan dan
duka yang mendalam. Tak sengaja Lilith mengaisnya ketika mengubur semua dalam
tanah pekuburan yang dipenuhi sesak oleh wangi kamboja di musim meranggas.
Kobal muncul tiba-tiba memeluk dari belakang dengan bentuk yang berbeda.
Seperti teman lama yang membawakan gambar-gambar penuh warna-warni. Keceriaan
yag sedari dulu pergi jauh bersama angin, kini kembali muncul. Muncul dalam
rupa dan bentuk yang lebih mengharukan, pada wujud yang menggetarkan semua
kesadaranku. Pada tubuh yang tercipta dari debu dan tanah.
“Akhirnya kami menjadi sepasang kekasih. Setelah sungguh-sungguh
kau nyatakan rasa ketertarikanmu pada ku. Kau si penjaga neraka yang sinis, dan
aku tahu bahwa kamu sangat bersungguh-sungguh dengan semua ucapanmu. Walau pun
tanpa kutipan puisi, dan narasi panjang para penyair sufi, tanpa rangkaian
bunga, coklat berbentuk hati, kartu ucapan berwarna merah jambu, atau makan
malam romantis dengan nyala lilin dan anggur berkelas di atas kabut yang kaya
oleh semilir kabut tipis. Kau hanya hantarkan padaku selarik cahaya siang yang
mendadak lembut menyapu ruangan, dan aku mau menerima apa adanya. Tentu saja,
setelah kau ternyata mampu bertahan dengan semua duka yang berjajar kolosal di
depan kita. Kau yang selalu rela memberikan tangan terjulur padaku, menggenggam
pundak-ku, lalu kata-kata sederahana itu terucap, dengan tatapan misteriusmu.
Yang sanggup membuatku tertunduk tersipu dengan tatapan nanar.” Rangkaian
gejolak Lilith.
“Maukah kamu menjadi kekasihku? Menjadi bagian dari setengah
hidupku?”
“Apakah aku layak untukmu?” Kobal bertanya dengan tatapan penuh
pengharapan.
“Sanggupkah kamu menghadapi aku?” pertanyaan kobal dijawab dengan
pertanyaan Lilith. “Datang ketempatku, mengenalkan diri sebagai penjaga neraka
pada orang tuaku yang tak lagi bertegur sapa. Sanggupkah kau menerima dan
menemaniku menghadapi hari-hari penuh keidakjelasan?”
Kobal menjawab semua pertanyaan Lilith, “seperti apapun kondisimu
saat ini, seburuk apapun tuhan menciptakan adzab, sehina apapun kita
dimata-NYA, aku tetap akan menjadi nafas yang kau hisap hingga kita tersenggal
bersama di ujung umur kita. Menjadi darah hitam yang mengotori seluruh pembuluh
arterimu.”
“Dan jika kau layak untukku, jika kau mencari rusukmu yang hilang
direnggut tuhan. Maka milikilah aku sepenuhnya, aku tak mau kehilanganmu.”
Sebelumnya muka mereka belum pernah berjumpa seintim ini.
Masing-masing mata melekat menatap. Nafas mereka saling memantul melalui wajah
masing-masing.
“Ketika ku biarkan tanganku kau raih dan diperkenalkan pada pokokmu
yang tegang menantang. Berwarna lembayung dengan urat-urat membelit kokoh,
dengan yakin kutantang pantangan. Kuelus takjub penuh deburan rasa tak menentu.
Kubiarkan tanganmu membawaku menuju dunia kepolosan. Menjelajahi setiap petak
bagian sprei putih polos dengan tubuh yang sama-sama telanjang. Kubiarkan
jemarimu menari menjelajahi payudaraku yang ranum menggantung. Kubiarkan kau
yang angkuh dengan sengaja menantang kutukan. Kubiarkan mulutmu yang lapar melahap
buah dada matang yang ranum menggantung. Mulutmu yang kerontang menghisap
pentil jingga yang membusung kaku. Aku yang tersenggal geli dan nikmat. Nikmat
dan berasa menggetarkan seisi ruh dan kesadaran. Kita yang dengan sengaja telah
menertawakan azab. Bersama para malaikat birahi menata gerak tarian makrifat,
gerakan kudus mengolah raga membentuk jiwa-jiwa yang akan dilepas bebas.
Menjadikan kita sebagai angin dan lautan yang saling berjumpa dalam balutan
rindu. Memperanakan gelombang yang berdebur membuncah menjadi buih berkejaran
di ujung pantai. Setiap gerak nafas kita menghirup dan menghembuskan aromanya.
Membiarkan serpihan jiwa kita bebas merancak mengikuti setiap naluri untuk
saling member nikmat. Bersama naluri yang menuntut kita menuju pelepasan jiwa
sejati menuju sifat penyatuan.” Lilith sambil mengerang penuh kenikmatan.
Kepala yang bersandar di perut mulai berguling turun. Dengan bibir
yang mengecup lembut, dan lidah yang sesekali terjulur menjilat sisi perut.
Menjalar ke bawah hingga batang pokok dikulumnya, digigit lembut seperti
memperlakukan segumpal es krim cone. Bahasa tubuh dan perasaan yang kembali
saling bicara tanpa Viagra dan tanpa iklan jamu kuat murahan yang hanya
mmposisikan perempuan sebagai hewan buruan yang harus ditaklukkan oleh penis
yang tergantung lusuh di selangkangan.
“Beri aku….” Dengan cepat bibir kobal membekap bibir Lilith dengan
satu ciuman rakus. Menggigit lidah bertukar liur. Mengulum telinga kirinya,
lidahnya menjelajahi setiap sulur-sulur telingaku. Menggigit pentil susu kanan
dan kiri Lilith dengan sangat lapar dan haus.
Dengan kesadaran penuh mereka selalu membangkang dan memberikan
selangkangan mereka pada setiap khotbah. Orang kerap menyebutnya sebagai
perbuatan asusila, tindakan amoral dan hanya pantas dilakukan oleh binatang.
Dan diam-diam tanpa sadar mereka mengadopsi gaya binatang ketika mereka sedang
bercinta. Gaya anjing, kuda, ataupun ikan mujair.
Kobal mengerang, sambil membumbungkan fantasinya.
“kau duduk di atas tubuhku, menghimpit rapat, menjepit erat. Aku
mengerang tertahan ketika kau tuntun batang pokok ku memasuki gerbang nikmat
yang becek oleh rembesan embun dari buah yang matang merekah merah oleh birahi.
Meneggelamkan semua pusat saraf dalam hisapan-hisapan saluran uterus yang
elastic dan bersulur lembut. Pinggulmu naik turun dengan irama gelora konstan.
Basah seperti rumput di pagi hari oleh embun murni. Meneggelamkan mentari
kesadaran ke dalam awing-awang penuh oleh bintang berkelap kelip. Sementara kau
terpejam syahdu dengan ekspresi nikmat yang berkecamuk. Dengus nafasmu
mengatakan seolah aku ini adalah hidangan utama yang harus kau habiskan tuntas.
Gerakan pinggulmu naik turun demikian juga dengan payudaramu yang mengkilap
oleh keringat. Pentilmu yang membusung keras, naik melayang lalu tumpah tanpa
terserak. Ku usap lembut dua pipimu yang merona. Kutatap dalam bola mata
Kristal itu.dan di wajahmu ku lihat ada seribu untaian matahari bangkit.
Seperti nikmat yang kurasa. Nikmat yang disimbolkan oleh bahasa tubuh dan
kata-kata tanpa makna. Bunyi tubuh yang bergesek dengan sprei dan kasur, suara
kelamin yang berjumpa dan bercakap basah penuh rindu. Suara nafas yang tertarik
dan terbuang tak beraturan, symbol nada kenikmatan. Lalu pusat pinggulmu
bergerak makin cepat. Kau benamkan sepenuhnya dan berputar perlahan namun
mencengkram erat. Searah jarum jam maupun kadang berlawanan. Aku ternganga
dengan dada tersengal. Nafas tercekat nikmat, lalu badanmu berderak lumpuh
telungkup rubuh dengan tiba-tiba. Begitu juga aku yang kehabisan nafas dengan
kondisi yang terkuras. Dan seketika itu suasana menjadi hening.”
Lambat laun, adegan persenggamaan mendebarkan tanpa lateks pengaman
itu berulang beberapa kali. hingga akhirnya perut Lilith berubah bentuk menjadi
besar dan dinamakan kehamilan.
“Cawanku berisi kenistaan. Siklusku terlambat satu minggu. Aku
hamil.” Lilith berkata sambil mata berkaca.
“Kita catatkan saja kelamin kita. Segera menghadap altar Dewa
azazel dan mengharap dia akan memberikan restu pada kita. Pada dua orang
pendosa yang sudah menghianati kepercayaan tuhan.” Kobal menjawab, dengan
mengelus rambut Lilith.
“ini aib.. ini aib, ini dusta, kenapa kau ajari aku tentang
pembangkangan ini? Segampang itu
jawabanmu? Minta restu lalu memasang barcode pada kelamin kita? Akan kau bawa
kemana aku ini? Aku yang akan terusir dari sorga bersama seorang abdi setan
sepertimu. Akan kau tamping dimana semua mimpi dan harapanku. Harapan tentang
rumah mungil di atas bukit teduh dengan padang rumput luas. Apa yang bisa ku
harapkan darimu, abdi setan tanpa masa depan?”
Dengan mata yang berlinang dan suara tertahan-tahan oleh cegukan.
Lilith melanjutkan, “Ada banyak kepentingan yang memang harus kita utamakan.
Karena memang itu jadi taruhan hidup kita di dunia ini. Menyangkut hidup
kita dan rencana-rencana kita di masa depan.
Tentang harga diri, tentang nama baik dan kenyataan baik yang harus kita
pertaruhkan di hadapan koloni, yang akan menagkap kita, memukuli kita hingga
sekarat lalu mengarak kita keliling kampung dalam keadaan telanjang bulat.
Koloni yang yang akan menghakimi dan mengeksekusi kita di panggung
penggantungan, atas nama moralitas.”
Lalu kobal memeluk Lilith, membiarkan dadanya dibasahi air mat.
Membiarkan lengan atasnya diremas keras. Air mata yang mengalir menjadi
jeram-jeram putus asa. Riak-riaknya berlloncatan berwarna keperakan.
Bersama gelap,Puja hampa
Pada kosong, berdiri tegap tanpa rasa
Harap perlaya!
Setelah itu Lilith tertidur, hingga bermimpi aneh. Melihat Kobal
mengasah pedang panjang yang tajam. Memenggil Lilith dan menyuruhnya berbaring
di atas tanah tandus. Dan tanpa banyak kata, Kobal menempelkan pisau di lehernya.
Menggerakkan ke depan dan ke- belakang, hingga suara otot leher dan urat yang
terpotong. Suara nafas dari leher yang tergorok dan semburan darah dari arteri
utama. Lilith berkelojotan sekarat, bergerak tak beraturan sebagai reaksi
reflex motorik ketika nyawa nyawa harus pisah dengan raga. Dan setelah itu
Lilith tak pernah lagi membuka matanya pada kehidupan. Lilith meninggalkan
dunia tanpa disadarinya.
Kucampak sisa pada nyawa
Kuraih gelap
Tanpa ada kata suci
Pengantar mati
Adi gembel 666
Tidak ada komentar:
Posting Komentar